My Followers

Jumat, 16 November 2012

UU No.22 Tahun 2002 Tentang GRASI


UU No.22 Tahun 2002 Tentang Grasi                     created by Febri uwak Jr.



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2002
TENTANG GRASI


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa untuk mendapatkan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan,
atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat
mengajukan permohonan grasi kepada Presiden;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk
berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dipandang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat; 
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Grasi.

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana  telah  diubah  dengan
Undang-Undang  Nomor 35  Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3879).

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG GRASI

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
2. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

BAB II
RUANG LINGKUP PERMOHONAN DAN PEMBERIAN GRASI

Pasal 2
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana
dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
(3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali,
kecuali dalam hal :
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua)
tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur
hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi
diterima.

Pasal 3
Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam
hal putusan pidana mati.

Pasal 4
(1) Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Agung.
(2) Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa :
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.

BAB III
TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN GRASI

Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan Grasi

Pasal 5
(1) Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang
yang memutus perkara pada tingkat pertama.
(2) Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

Pasal 6
(1) Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh keluarga terpidana,
dengan persetujuan terpidana.
(3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga
terpidana tanpa persetujuan terpidana.

Pasal 7
(1) Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap.
(2) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibatasi oleh tenggang waktu
tertentu.

Pasal 8
(1) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diajukan secara
tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.
(2) Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada
Mahkamah Agung. 
(3) Permohonan grasi dan salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana
menjalani pidana.
(4) Dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga
Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan
menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan
kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari
terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.

Bagian Kedua
Penyelesaian Permohonan Grasi

Pasal 9
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan
permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengadilan tingkat pertama
mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.

Pasal 10
Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan
permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung
mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden.

Pasal 11
(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.
(3) Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.

Pasal 12
(1) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) disampaikan kepada
terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
ditetapkannya Keputusan Presiden.
(2) Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada :
a. Mahkamah Agung;
b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama;
c. Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan
d. Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.

Pasal 13
Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi,
pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan
permohonan grasi diterima oleh terpidana.

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 14
(1) Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan
peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama,
maka permohonan peninjauan kembali diputus lebih dahulu.
(2) Keputusan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak salinan putusan peninjauan
kembali diterima Presiden.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian permohonan grasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 15
Permohonan grasi yang belum mendapat penyelesaian yang diajukan sebelum berlakunya
Undang-Undang ini diselesaikan dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
mulai berlaku.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 16
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Permohonan Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat Tahun 1950 Nomor 40)
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 17
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 22 Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 22 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 108

PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2002
TENTANG GRASI


I. UMUM 
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung. 
Pada saat ini pengaturan mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1950 tentang Permohonan Grasi. Undang-Undang tersebut dibentuk pada masa Republik
Indonesia Serikat sehingga tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang
berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat. 
Dalam mengatur tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi, Undang-Undang
tersebut di samping tidak mengenal pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan
grasi, juga melibatkan beberapa instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana
(criminal justice system) dan mengatur pula penundaan pelaksanaan putusan pengadilan
jika diajukan permohonan grasi. Hal tersebut mengakibatkan begitu banyak permohonan
grasi yang diajukan dan adanya penyalahgunaan permohonan grasi untuk menunda
pelaksanaan putusan sehingga penyelesaian permohonan grasi memakan waktu yang lama
dan terlalu birokratis. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 perlu diganti
dengan Undang-Undang yang baru.
Pembentukan Undang-Undang ini bertujuan menyesuaikan pengaturan mengenai grasi
dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menentukan bahwa Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa
perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada
terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis
peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi
bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif
Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah,
meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan
pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi
terhadap terpidana.
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata
cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Ketentuan mengenai tata cara
tersebut dilakukan dengan penyederhanaan tanpa melibatkan pertimbangan dari instansi
yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana. Untuk mengurangi beban penyelesaian
permohonan grasi dan mencegah penyalahgunaan permohonan grasi, dalam UndangUndang in diatur mengenai pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi paling rendah 2 (dua) tahun serta ditegaskan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan, kecuali terhadap putusan pidana mati. Di samping itu, ditentukan pula bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali untuk pidana tertentu dan dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat diajukan 1 (satu) kali lagi. Pengecualian tersebut terbuka bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, atau bagi terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Untuk menjamin kepastian hukum dan hak-hak terpidana, dalam Undang-Undang ini diatur
percepatan tata cara penyelesaian permohonan grasi dengan menentukan tenggang waktu
dalam setiap tahap proses penyelesaian permohonan grasi. Tata cara pengajuan grasi,
terpidana langsung menyampaikan permohonan tersebut kepada Presiden, dan salinan
permohonan tersebut disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat
pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Presiden memberikan atau menolak
permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. 

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas 

Pasal 2
Ayat (1)
Kata “dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan
grasi sesuai dengan Undang-Undang ini.
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
adalah :
1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam
waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 
2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau 
3. putusan kasasi.
Yang dimaksud dengan “pengadilan” adalah pengadilan di lingkungan peradilan
umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana. 
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kewajiban panitera untuk memberitahukan secara tertulis hak terpidana untuk mengajukan
grasi, berlaku pula dalam hal putusan dijatuhkan pada tingkat banding atau kasasi.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keluarga” adalah isteri atau suami, anak kandung, orang tua
kandung, atau saudara sekandung terpidana.   
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Yang dimaksud dengan “berkas perkara” adalah termasuk putusan pengadilan tingkat pertama,
serta putusan pengadilan tingkat banding atau kasasi jika terpidana mengajukan banding atau
kasasi. 

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b dan huruf c
Dalam hal terpidana anggota Tentara Nasional Indonesia, salinan keputusan grasi
disampaikan kepada pengadilan di lingkungan Peradilan Militer yang memutus
perkara pidana pada tingkat pertama dan oditurat militer yang menuntut perkara
terpidana.
Huruf d
Dalam hal terpidana anggota Tentara Nasional Indonesia, salinan keputusan grasi
disampaikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Militer tempat terpidana
menjalani pidana.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas 

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4234


UU No.7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial

UU No.7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial   


  created by Febri uwak Jr.



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR  7  TAHUN  2012 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan
menegakkan hak asasi setiap warga negara melalui
upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram, tertib,
damai, dan sejahtera, baik lahir maupun batin sebagai
wujud hak setiap orang atas pelindungan agama, diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda;
b. bahwa perseteruan dan/atau benturan antarkelompok
masyarakat dapat menimbulkan konflik sosial yang
mengakibatkan terganggunya stabilitas nasional dan
terhambatnya pembangunan nasional;
c. bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penanganan konflik sosial masih
bersifat parsial dan belum komprehensif sesuai dengan
dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Penanganan
Konflik Sosial;
Mengingat: Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G ayat (1),
dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan . . .



- 2 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN KONFLIK
SOSIAL.  

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik,
adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan
kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau
lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan
berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan
dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu
stabilitas nasional dan menghambat pembangunan
nasional.
2. Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara sistematis dan terencana
dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat,
maupun sesudah terjadi Konflik yang  mencakup
pencegahan konflik, penghentian konflik, dan
pemulihan pascakonflik.
3. Pencegahan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya Konflik dengan
peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem
peringatan dini.
4. Penghentian Konflik adalah serangkaian kegiatan
untuk mengakhiri kekerasan, menyelamatkan korban,
membatasi perluasan dan eskalasi Konflik, serta
mencegah bertambahnya jumlah korban dan kerugian
harta benda.

5. Pemulihan . . .



- 3 -
5. Pemulihan Pascakonflik adalah serangkaian kegiatan
untuk mengembalikan keadaan dan memperbaiki
hubungan yang tidak harmonis dalam masyarakat
akibat Konflik melalui kegiatan rekonsiliasi,
rehabilitasi, dan rekonstruksi.
6. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang
terpaksa keluar dan/atau dipaksa keluar oleh pihak
tertentu, melarikan diri, atau meninggalkan tempat
tinggal dan harta benda mereka dalam jangka waktu
yang belum pasti sebagai akibat dari adanya
intimidasi terhadap keselamatan jiwa dan harta
benda, keamanan bekerja, dan kegiatan kehidupan
lainnya.
7. Status Keadaan Konflik adalah suatu status  yang
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang tentang
Konflik yang terjadi di daerah kabupaten/kota,
provinsi, atau nasional yang tidak dapat diselesaikan
dengan cara biasa.
8. Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial adalah
lembaga bersifat ad hoc yang dibentuk untuk
menyelesaikan Konflik di luar pengadilan melalui
musyawarah untuk mufakat.
9. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
10. Dewan Perwakilan Rakyat, yang selanjutnya disingkat
DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
11. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
12. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya
disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.

13. Tentara . . .



- 4 -
13. Tentara Nasional Indonesia, yang selanjutnya
disingkat TNI, terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara, adalah alat negara yang
bertugas mempertahankan, melindungi, dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
14. Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang
selanjutnya disingkat Polri, adalah alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
pelindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri.
15. Pranata Adat adalah lembaga yang lahir dari nilai
adat yang dihormati, diakui, dan ditaati oleh
masyarakat.
16. Pranata Sosial adalah lembaga yang lahir dari nilai
adat, agama, budaya, pendidikan, dan ekonomi yang
dihormati, diakui, dan ditaati oleh masyarakat.
17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang
selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.
18. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang
selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

BAB II
ASAS,  TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2
Penanganan Konflik mencerminkan asas:
a. kemanusiaan;
b. hak asasi manusia;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kebhinneka-tunggal-ikaan;

f. keadilan . . .



- 5 -
f. keadilan;
g. kesetaraan gender;
h. ketertiban dan kepastian hukum;
i. keberlanjutan;
j. kearifan lokal;
k. tanggung jawab negara;
l. partisipatif;
m. tidak memihak; dan
n. tidak membeda-bedakan.

Pasal 3
Penanganan Konflik bertujuan:
a. menciptakan kehidupan masyarakat yang aman,
tenteram, damai, dan sejahtera;
b. memelihara kondisi damai dan harmonis dalam
hubungan sosial kemasyarakatan;
c. meningkatkan tenggang rasa dan toleransi dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
d. memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan;
e. melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan
prasarana umum;
f. memberikan pelindungan dan pemenuhan hak
korban; dan
g. memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat
serta sarana dan prasarana umum.

Pasal 4
Ruang lingkup Penanganan Konflik meliputi:
a. Pencegahan Konflik;
b. Penghentian Konflik; dan
c. Pemulihan Pascakonflik.

Pasal 5
Konflik dapat bersumber dari:
a. permasalahan yang berkaitan dengan politik,
ekonomi, dan sosial budaya;

b. perseteruan . . .



- 6 -
b. perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat
beragama, antarsuku, dan antaretnis;
c. sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota,
dan/atau provinsi;
d. sengketa sumber daya alam antarmasyarakat
dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha;
atau
e. distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang
dalam masyarakat.

BAB III
PENCEGAHAN KONFLIK

Bagian Kesatu
Umum

Pasal  6
(1) Pencegahan Konflik dilakukan dengan upaya:
a. memelihara kondisi damai dalam masyarakat;
b. mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan
secara damai;
c. meredam potensi Konflik; dan
d. membangun sistem peringatan dini.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.

Bagian Kedua
Memelihara Kondisi Damai Dalam Masyarakat

Pasal 7
Untuk memelihara kondisi damai dalam masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a,
setiap orang berkewajiban:

a. mengembangkan . . .



- 7 -
a. mengembangkan sikap toleransi dan saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya;
b. menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat
istiadat orang lain;
c. mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya;
d. mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan
kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan
suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan sosial, dan warna kulit;
e. mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar
kebhinneka-tunggal-ikaan; dan/atau
f. menghargai pendapat dan kebebasan orang lain.

Bagian Ketiga
Mengembangkan Sistem Penyelesaian Perselisihan Secara Damai

Pasal 8
(1) Penyelesaian perselisihan dalam masyarakat dilakukan
secara damai.
(2) Penyelesaian secara damai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengutamakan  musyawarah untuk
mufakat.
(3) Hasil musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengikat para pihak.

Bagian Keempat
Meredam Potensi Konflik

Pasal 9
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban
meredam potensi Konflik dalam masyarakat dengan:
a. melakukan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan yang  memperhatikan aspirasi
masyarakat;

b. menerapkan . . .



- 8 -
b. menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang
baik;
c. melakukan program perdamaian di daerah potensi
Konflik;
d. mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat;
e. menegakkan hukum tanpa diskriminasi;
f. membangun karakter bangsa;
g. melestarikan nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan
h. menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok
masyarakat untuk membangun kemitraan dengan
pelaku usaha di daerah setempat.

Bagian Kelima
Membangun Sistem Peringatan Dini

Pasal 10
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun
sistem peringatan dini untuk mencegah:
a. Konflik di daerah yang diidentifikasi sebagai daerah
potensi Konflik; dan/atau
b. perluasan Konflik di daerah yang sedang terjadi
Konflik.
(2) Sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa penyampaian informasi
mengenai potensi Konflik atau terjadinya Konflik di
daerah tertentu kepada masyarakat.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun
sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) melalui media komunikasi.

Pasal 11
Membangun sistem peringatan dini sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilakukan Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dengan cara:
a. penelitian dan pemetaan wilayah potensi Konflik;

b. penyampaian . . .



- 9 -
b. penyampaian data dan informasi mengenai Konflik
secara cepat dan akurat;
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
d. peningkatan dan pemanfaatan modal sosial; dan
e. penguatan dan pemanfaatan fungsi intelijen sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
PENGHENTIAN KONFLIK

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 12
Penghentian Konflik dilakukan melalui:
a. penghentian kekerasan fisik;
b. penetapan Status Keadaan Konflik;
c. tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan
korban; dan/atau
d. bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI.

Bagian Kedua
Penghentian Kekerasan Fisik

Pasal 13
(1) Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf a dikoordinasikan dan
dikendalikan oleh Polri.
(2) Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melibatkan tokoh masyarakat, tokoh
agama, dan/atau tokoh adat.
(3) Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian . . .




- 10 -
Bagian Ketiga
Penetapan Status Keadaan Konflik

Pasal 14
Status Keadaan Konflik ditetapkan apabila Konflik tidak
dapat dikendalikan oleh Polri dan terganggunya fungsi
pemerintahan.
                         
 Pasal  15
(1) Status  Keadaan Konflik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 terdiri atas:
a. skala kabupaten/kota;
b. skala provinsi; atau
c. skala nasional.
(2) Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terjadi
apabila eskalasi Konflik dalam suatu daerah atau
wilayah kabupaten/kota dan memiliki dampak hanya
pada tingkat kabupaten/kota.
(3) Status Keadaan Konflik skala provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi apabila eskalasi
Konflik dalam suatu daerah atau wilayah
kabupaten/kota dan/atau beberapa kabupaten/kota
dalam suatu provinsi dan memiliki dampak sampai
pada tingkat provinsi.
(4) Status Keadaan Konflik skala nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi apabila eskalasi
Konflik mencakup suatu daerah atau wilayah
kabupaten/kota dan/atau beberapa provinsi dan
memiliki dampak secara nasional.

 Pasal 16
Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan
oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan
pimpinan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 17 . . .



- 11 -
Pasal 17
DPRD kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan Penanganan Konflik selama Status Keadaan
Konflik.

Pasal 18
Status Keadaan Konflik skala provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) ditetapkan oleh
gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD
provinsi.

Pasal 19
DPRD provinsi melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan Penanganan Konflik selama Status Keadaan
Konflik.

Pasal 20
Status Keadaan Konflik skala nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) ditetapkan oleh
Presiden setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR.

Pasal 21
DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
Penanganan Konflik selama Status Keadaan Konflik skala
nasional.

Pasal 22
Penetapan Status Keadaan Konflik sebagaimana dimaksud
dalam  Pasal 15 ayat (1) berlaku paling lama 90 (sembilan
puluh) hari.

Pasal 23
(1) Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota,
bupati/wali kota bertanggung jawab atas Penanganan
Konflik kabupaten/kota.

(2) Dalam . . .



- 12 -
(2) Dalam Penanganan Konflik skala kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/wali kota
wajib melaporkan perkembangan Penanganan Konflik
kepada gubernur dengan tembusan kepada menteri
yang membidangi urusan dalam negeri dan/atau
menteri terkait serta DPRD kabupaten/kota.

Pasal 24
(1) Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi,
gubernur bertanggung jawab atas Penanganan Konflik
provinsi.
(2) Dalam Penanganan Konflik skala provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), gubernur wajib melaporkan
perkembangan Penanganan Konflik kepada Presiden
melalui menteri yang membidangi urusan dalam negeri
dan/atau menteri terkait dengan tembusan kepada
DPRD provinsi.

Pasal 25
(1) Dalam hal Status Keadaan Konflik skala nasional,
Presiden bertanggung jawab atas Penanganan Konflik
nasional.
(2) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Presiden dapat menunjuk
menteri yang membidangi koordinasi urusan politik,
hukum, dan keamanan sebagai koordinator dengan
melibatkan menteri/pimpinan lembaga terkait.
(3) Dalam penanganan Status Keadaan Konflik skala
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Presiden menyampaikan perkembangan penanganan
Status Keadaan Konflik kepada DPR.

Pasal 26
Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota,
bupati/wali kota dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk
sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara
waktu;

c. penempatan . . .



- 13 -
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk
sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik
atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara
waktu.

Pasal 27
Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi gubernur
dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk
sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara
waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk
sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik
atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara
waktu.

Pasal 28
Dalam Status Keadaan Konflik skala nasional Presiden
dapat menunjuk menteri yang membidangi koordinasi
urusan politik, hukum, dan keamanan untuk melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk
sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara
waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk
sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik
atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara
waktu.
Pasal 29
(1) Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian
keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali
kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD
kabupaten/kota dapat memperpanjang jangka waktu
Status Keadaan Konflik  paling lama 30 (tiga puluh)
hari.

(2) Berdasarkan . . .



- 14 -
(2) Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian
keadaan Konflik skala provinsi, gubernur setelah
berkonsultasi dengan pimpinan DPRD provinsi dapat
memperpanjang jangka waktu Status Keadaan Konflik
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3) Berdasarkan evaluasi terhadap perkembangan
pengendalian keadaan Konflik skala nasional, Presiden
setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR dapat
memperpanjang jangka waktu Status Keadaan Konflik
paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 30
(1) Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
dikonsultasikan oleh bupati/wali kota kepada
pimpinan DPRD kabupaten/kota dalam waktu 10
(sepuluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktu
Status Keadaan Konflik.
(2) Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dikonsultasikan oleh gubernur kepada pimpinan DPRD
provinsi dalam waktu 10 (sepuluh) hari sebelum
berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.
(3) Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3)
dikonsultasikan oleh Presiden kepada pimpinan DPR
dalam waktu 10 (sepuluh) hari sebelum berakhirnya
jangka waktu Status Keadaan Konflik.
(4) Dalam hal penetapan Status Keadaan Konflik dicabut,
semua kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 tidak berlaku.

Pasal 31
Dalam hal keadaan Konflik dapat ditanggulangi sebelum
batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22, bupati/wali kota, gubernur, atau Presiden
berwenang mencabut penetapan Status Keadaan Konflik.

Bagian . . .



- 15 -
Bagian Keempat
Tindakan Darurat Penyelamatan dan Pelindungan Korban

Pasal 32
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan
tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan
korban sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan
wewenangnya.
(2) Tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan
korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyelamatan, evakuasi, dan  identifikasi korban
Konflik secara cepat dan tepat;
b. pemenuhan kebutuhan dasar korban Konflik;
c. pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk
kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak, dan
kelompok orang yang berkebutuhan khusus;
d. pelindungan terhadap kelompok rentan;
e. upaya sterilisasi tempat yang rawan Konflik;
f. penyelamatan sarana dan prasarana vital;
g. penegakan hukum;
h. pengaturan mobilitas orang, barang, dan jasa dari
dan ke daerah Konflik;  dan
i. penyelamatan harta benda korban Konflik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan darurat
penyelamatan dan pelindungan korban diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Bantuan Penggunaan dan Pengerahan Kekuatan TNI

Pasal 33
(1) Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota,
bupati/wali kota dapat meminta bantuan penggunaan
kekuatan TNI kepada Pemerintah.

(2) Dalam . . .



- 16 -
(2) Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi,
gubernur dapat meminta bantuan penggunaan
kekuatan TNI kepada Pemerintah.
(3) Dalam Status Keadaan Konflik skala nasional, Presiden
berwenang mengerahkan kekuatan TNI setelah
berkonsultasi dengan pimpinan DPR.
(4) Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3)  dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 34
(1) Pelaksanaan bantuan penggunaan kekuatan TNI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
dikoordinasikan oleh Polri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan penggunaan
kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35
Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 berakhir apabila:
a. telah dilakukan pencabutan penetapan Status
Keadaan Konflik; atau
b. berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.

BAB V
PEMULIHAN PASCAKONFLIK

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 36
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban
melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secara
terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur.

(2) Upaya . . .



- 17 -
(2) Upaya Pemulihan Pascakonflik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. rekonsiliasi;
b. rehabilitasi; dan
c. rekonstruksi.

Bagian Kedua
Rekonsiliasi

Pasal 37
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan
rekonsiliasi antara para pihak dengan cara:
a. perundingan secara damai;
b. pemberian restitusi; dan/atau
c. pemaafan.
(2) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dengan Pranata Adat dan/atau
Pranata Sosial atau Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial.

Bagian Ketiga
Rehabilitasi

Pasal 38
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan
rehabilitasi di daerah pascakonflik dan daerah terkena
dampak Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (2) huruf b, sesuai dengan tugas, tanggung
jawab, dan wewenangnya.
(2) Pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. pemulihan psikologis korban Konflik dan
pelindungan kelompok rentan;
b. pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya,
keamanan, dan ketertiban;
c. perbaikan dan pengembangan lingkungan
dan/atau daerah perdamaian;
d. penguatan relasi sosial yang adil untuk
kesejahteraan masyarakat;

e. penguatan . . .



- 18 -
e. penguatan kebijakan publik yang mendorong
pembangunan lingkungan dan/atau daerah
perdamaian berbasiskan hak masyarakat;
f. pemulihan ekonomi dan hak keperdataan, serta
peningkatan pelayanan pemerintahan;
g. pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan,
anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang
berkebutuhan khusus;
h. pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kesehatan
reproduksi bagi kelompok perempuan;
i. peningkatan pelayanan kesehatan anak-anak; dan
j. pemfasilitasian serta mediasi pengembalian dan
pemulihan aset korban Konflik.

Bagian Keempat
Rekonstruksi

Pasal 39
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan
rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (2) huruf c sesuai dengan tugas, tanggung jawab,
dan wewenangnya.
(2) Pelaksanaan rekonstruksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan
publik di lingkungan dan/atau daerah
pascakonflik;
b. pemulihan dan penyediaan akses pendidikan,
kesehatan, dan mata pencaharian;
c. perbaikan sarana dan prasarana umum daerah
Konflik;
d. perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja
yang menyebabkan ketidaksetaraan dan
ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;
e. perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan
pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan,
anak-anak, lanjut usia, dan  kelompok orang yang
berkebutuhan khusus;
f. perbaikan dan pemulihan tempat ibadah.


BAB VI . . .



- 19 -
BAB VI
KELEMBAGAAN DAN MEKANISME PENYELESAIAN KONFLIK

Bagian Kesatu
Kelembagaan

Pasal 40
Kelembagaan penyelesaian Konflik terdiri atas Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Pranata Adat dan/atau Pranata
Sosial, serta Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.

Bagian Kedua
Mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial

Pasal 41
(1) Penyelesaian Konflik dilaksanakan oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dengan mengedepankan
Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial yang ada dan
diakui keberadaannya.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengakui hasil
penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat
dan/atau Pranata Sosial.
(3) Hasil kesepakatan penyelesaian Konflik melalui
mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
kekuatan yang mengikat bagi kelompok masyarakat
yang terlibat dalam Konflik.
(4) Dalam hal penyelesaian Konflik melalui mekanisme
Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diselesaikan,
maka penyelesaian Konflik dilakukan oleh Satuan
Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.
(5) Penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat
dan/atau Pranata Sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) difasilitasi oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dengan melibatkan aparatur
kecamatan dan kelurahan/desa setempat.

Bagian . . .




- 20 -
Bagian Ketiga
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

Paragraf Satu
Umum

Pasal 42
(1) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial merupakan
lembaga penyelesaian Konflik yang bersifat ad hoc.
(2) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam hal:
a. tidak ada Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial di
daerah Konflik;
b. tidak berfungsinya Pranata Adat dan/atau
Pranata Sosial di daerah Konflik;
c. tidak berjalannya mekanisme musyawarah untuk
mufakat melalui Pranata Adat dan/atau Pranata
Sosial;
d. tidak tercapainya kesepakatan melalui mekanisme
musyawarah Pranata Adat dan/atau Pranata
Sosial; dan
e. telah ditetapkannya Status Keadaan Konflik.

 Paragraf Dua
Tugas dan Fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

Pasal 43
(1) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial bertugas
menyelesaikan Konflik sosial melalui musyawarah
untuk mufakat.
(2) Penyelesaian Konflik melalui musyawarah untuk
mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengikat bagi kelompok masyarakat yang terlibat
dalam Konflik.
(3) Dalam hal penyelesaian Konflik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,
penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan.


Pasal 44 . . .



- 21 -
Pasal 44
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (1), Satuan Tugas Penyelesaian
Konflik Sosial menyelenggarakan fungsi:
a. pencarian fakta dan pemberian kesempatan kepada
pihak yang berkonflik untuk menyampaikan fakta
dan penyebab terjadinya Konflik;
b. pencarian data atau informasi di instansi pemerintah
dan/atau swasta terkait sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. koordinasi dengan instansi terkait untuk memberikan
pelindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku,
dan barang bukti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. perumusan opsi yang dapat disepakati dengan
mempertimbangkan kepentingan pihak yang
berkonflik;
e. perumusan kesepakatan yang telah dicapai;
f. penghitungan jumlah kerugian dan besaran
kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan/atau
rekonstruksi;
g. penyampaian rekomendasi kepada Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah dalam upaya
rehabilitasi dan Pemulihan Pascakonflik; dan
h. penyampaian laporan akhir pelaksanaan tugas dan
fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
kepada Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan
tembusan kepada DPR/DPRD.

Paragraf Tiga
Pembentukan, Penetapan, dan Pembubaran
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

Pasal 45
Pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilakukan melalui
mekanisme:

a. pembentukan . . .



- 22 -
a. pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala
kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/wali kota;
b. pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala provinsi
dilakukan oleh gubernur; dan/atau
c. pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial  untuk menyelesaikan Konflik skala nasional
diusulkan oleh menteri yang membidangi koordinasi
urusan politik, hukum, dan keamanan  kepada
Presiden.

Pasal 46
(1) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial berakhir
apabila:
a. Konflik telah diselesaikan melalui musyawarah
untuk mufakat; atau
b. penyelesaian Konflik diajukan oleh pihak yang
berkonflik melalui pengadilan.
(2) Dalam hal keadaan Konflik skala kabupaten/kota
meningkat menjadi keadaan Konflik skala provinsi,
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
kabupaten/kota tidak dengan sendirinya dibubarkan.
(3) Dalam hal keadaan Konflik skala provinsi meningkat
menjadi keadaan Konflik skala nasional, Satuan
Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kabupaten/kota
dan provinsi tidak dengan sendirinya dibubarkan.
(4) Penyelesaian Konflik selama proses di pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
difasilitasi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah.
(5) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
mencakup pemantauan, pengendalian, dan
pengamanan terhadap pihak yang berkonflik tanpa
intervensi terhadap proses peradilan.

Paragraf . . .



- 23 -
Paragraf Empat
Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

Pasal 47
(1) Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 huruf a terdiri atas unsur Pemerintah
Daerah dan masyarakat.
(2) Unsur Pemerintah Daerah  sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. bupati/wali kota;
b. ketua DPRD kabupaten/kota;
c. instansi Pemerintah dan/atau satuan kerja
perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan;
d. kepala kepolisian resor;
e. komandan distrik militer/komandan satuan
unsur TNI; dan
f. kepala kejaksaan negeri.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. tokoh agama;
b. tokoh adat;
c. tokoh masyarakat;
d. pegiat perdamaian; dan
e. wakil pihak yang berkonflik.
(4) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).

Pasal 48
(1) Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial provinsi sebagaimana dimaksud dalam  
Pasal 45 huruf b terdiri atas unsur Pemerintah
Daerah dan masyarakat.
(2) Unsur Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. gubernur;
b. ketua DPRD provinsi;

c. instansi . . .



- 24 -
c. instansi Pemerintah dan/atau satuan kerja
pemerintah daerah provinsi sesuai dengan
kebutuhan;
d. kepala kepolisian daerah;
e. panglima daerah militer/komandan satuan unsur
TNI;
f. kepala kejaksaan tinggi; dan
g. unsur Pemerintah Daerah pada Satuan Tugas
Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. tokoh agama;
b. tokoh adat;
c. tokoh masyarakat;
d. pegiat perdamaian; dan
e. wakil pihak yang berkonflik dari Satuan Tugas
Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.
(4) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).

Pasal 49
(1) Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial skala nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 huruf c terdiri atas unsur Pemerintah dan
masyarakat.
(2) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. kementerian yang membidangi koordinasi urusan
politik, hukum, dan keamanan;
b. kementerian yang membidangi koordinasi urusan
kesejahteraan rakyat;
c. kementerian yang membidangi urusan dalam
negeri;
d. kementerian yang membidangi urusan
pertahanan;
e. kementerian yang membidangi urusan keuangan
negara;
f. kementerian yang membidangi urusan kesehatan;
g. kementerian yang membidangi urusan sosial;

h. kementerian . . .



- 25 -
h. kementerian yang membidangi urusan agama;
i. Polri;
j. TNI;
k. Kejaksaan Agung;
l. Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
m. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;
n. unsur Pemerintah Daerah dari Satuan Tugas
Penyelesaian Konflik Sosial  skala provinsi yang
berkonflik; dan
o. instansi pemerintah terkait lainnya sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. tokoh agama;
b. tokoh adat;
c. tokoh masyarakat;
d. pegiat perdamaian;
e. wakil pihak yang berkonflik dari Satuan Tugas
Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi; dan
f. lembaga masyarakat lain yang terkait sesuai
dengan kebutuhan.
(4) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).
Pasal  50
Penetapan anggota Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (1)
dengan mempertimbangkan  ketokohan, integritas, dan
moralitas.
Pasal  51
Anggota Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
berhenti atau diberhentikan karena:
a. masa tugas Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
telah berakhir;
b. penggantian personel oleh instansi yang
bersangkutan;
c. meninggal dunia;
d. mengundurkan diri secara tertulis; dan/atau

e. melakukan . . .



- 26 -
e. melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugas
dan fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 52
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam Penanganan
Konflik.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
a. pembiayaan;
b. bantuan teknis;
c. penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban
Konflik; dan/atau
d. bantuan tenaga dan pikiran.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta
masyarakat dalam Penanganan Konflik diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB  VIII
PENDANAAN

Pasal 53
(1) Pendanaan Penanganan Konflik digunakan untuk
Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik, dan
Pemulihan Pascakonflik.
(2) Pendanaan Penanganan Konflik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggungjawab
bersama Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang
dialokasikan pada APBN  dan/atau APBD sesuai
dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab
masing-masing.  

Pasal 54
(1) Pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk
Pencegahan Konflik melalui anggaran
kementerian/lembaga yang bertanggung jawab sesuai
tugas dan fungsinya.

(2) Pemerintah . . .



- 27 -
(2) Pemerintah Daerah mengalokasikan dana APBD
untuk Pencegahan Konflik melalui anggaran satuan
kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab
sesuai tugas dan fungsinya.

Pasal 55
(1) Pendanaan Penghentian Konflik dan rekonsiliasi
pascakonflik diambil dari dana siap pakai pada APBN
dan/atau dana belanja tidak terduga pada APBD oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagai
unsur Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), Pasal
48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (1) yang dapat dipakai
sewaktu-waktu secara langsung oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Dana siap pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber dari dana bagian anggaran bendahara
umum negara.

Pasal 56
(1) Pemerintah mengalokasikan dana pascakonflik
melalui anggaran kementerian/lembaga yang
bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya.
(2) Pemerintah Daerah mengalokasikan dana
pascakonflik melalui APBD.
(3) Dana pascakonflik digunakan untuk mendanai
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap
pascakonflik yang terjadi di daerah.

Pasal 57
(1) Pemerintah Daerah yang daerahnya mengalami
konflik dan memiliki keterbatasan kemampuan
pendanaan dapat mengajukan permintaan dana
pascakonflik kepada Pemerintah melalui dana alokasi
khusus (DAK) dengan melampirkan kerangka acuan
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascakonflik
beserta rencana anggaran biaya.

(2) Pengajuan . . .



- 28 -
(2) Pengajuan dana pascakonflik yang diajukan oleh
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikoordinasikan oleh kementerian yang
membidangi urusan dalam negeri.

Pasal 58
Ketentuan mengenai perencanaan, penganggaran,
penyaluran, penatausahaan, pelaporan, dan
pertanggungjawaban pengelolaan pendanaan
Penanganan Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 59
Semua program dan kegiatan yang berkaitan dengan
Penanganan Konflik yang telah berlangsung sebelum
ditetapkannya Undang-Undang ini dapat terus
dilaksanakan sampai dengan berakhirnya program dan
kegiatan tersebut.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 60
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penanganan konflik dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan atau belum dibentuk berdasarkan
Undang-Undang ini.

Pasal 61
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah
ditetapkan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun 6
(enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.

Pasal 62
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar . . .



- 29 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Mei 2012

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                      ttd.





DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Mei 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,


                                  ttd.


AMIR SYAMSUDIN


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN  2012  NOMOR  116









Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,


ttd.


Wisnu Setiawan





PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  7  TAHUN  2012
TENTANG
PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
I.  UMUM
Keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan
jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, pada satu sisi  merupakan
suatu kekayaan bangsa yang secara langsung ataupun tidak langsung
dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Namun pada sisi lain, kondisi tersebut dapat
membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional apabila terdapat
ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial dan
ekonomi, serta ketidakterkendalian dinamika kehidupan politik.
Di samping itu, transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang
makin terbuka mengakibatkan makin cepatnya dinamika sosial,
termasuk faktor intervensi asing. Kondisi tersebut menempatkan
Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan Konflik, terutama
Konflik yang bersifat horisontal. Konflik tersebut, terbukti telah
mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma
psikologis seperti dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat
terwujudnya kesejahteraan umum.
Sistem penanganan Konflik yang dikembangkan selama ini lebih
mengarah pada penanganan yang bersifat militeristik dan represif. Selain
itu, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Penanganan
Konflik masih bersifat parsial dan dalam bentuk peraturan perundangundangan

yang dikeluarkan oleh Pemerintah seperti dalam bentuk
Instruksi Presiden, Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden.


Berbagai . . .




- 2 -
Berbagai upaya Penanganan Konflik terus dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk membentuk
kerangka regulasi baru. Dengan mengacu pada strategi Penanganan
Konflik yang dikembangkan oleh Pemerintah, kerangka regulasi yang ada
mencakup tiga strategi. Pertama, kerangka regulasi dalam upaya
Pencegahan Konflik seperti  regulasi mengenai kebijakan dan strategi
pembangunan yang sensitif terhadap Konflik dan upaya Pencegahan
Konflik. Kedua, kerangka regulasi bagi kegiatan Penanganan Konflik
pada saat terjadi Konflik yang meliputi upaya penghentian kekerasan
dan pencegahan jatuhnya korban manusia ataupun harta benda. Ketiga,
kerangka regulasi bagi penanganan pascakonflik, yaitu ketentuan yang
berkaitan dengan tugas penyelesaian sengketa/proses hukum serta
kegiatan pemulihan, reintegrasi, dan rehabilitasi. Kerangka regulasi yang
dimaksud adalah segala peraturan perundang-undangan, baik yang
tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 maupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain,
termasuk di dalamnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP
MPR).
Berdasarkan pemikiran tersebut, pada dasarnya terdapat tiga
argumentasi pentingnya Undang-Undang tentang Penanganan Konflik
Sosial, yaitu  argumentasi  filosofis, argumentasi sosiologis, dan
argumentasi yuridis.
Argumentasi filosofis berkaitan dengan pertama, jaminan tetap
eksisnya  cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa diganggu akibat
perbedaan pendapat atau Konflik yang terjadi di antara kelompok
masyarakat. Kedua, tujuan Negara Kesatuan Republik  Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku
bangsa, agama, dan budaya serta melindungi seluruh tumpah darah
Indonesia, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari
rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Ketiga, tanggung jawab negara memberikan pelindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi melalui upaya
penciptaan suasana yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera baik
lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas pelindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda serta hak
atas rasa aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan. Bebas dari
rasa takut merupakan jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai,
adil, dan sejahtera.

Selanjutnya . . .




- 3 -
Selanjutnya, argumentasi sosiologis pembentukan Undang-Undang
tentang Penanganan Konflik Sosial adalah sebagai berikut;  Pertama,
Negara Republik Indonesia dengan keanekaragaman suku bangsa,
agama, dan budaya yang masih diwarnai ketimpangan pembangunan,
ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, ekonomi dan politik, berpotensi
melahirkan Konflik di tengah masyarakat.
Kedua, Indonesia pada satu sisi sedang mengalami transisi
demokrasi dan pemerintahan, membuka peluang bagi munculnya
gerakan radikalisme  di dalam negeri, dan pada sisi lain hidup  dalam
tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh asing  sangat rawan dan
berpotensi menimbulkan Konflik.
Ketiga, kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan
yang makin terbatas dapat menimbulkan Konflik, baik karena masalah
kepemilikan maupun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya
yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat setempat.
Keempat, Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman, timbulnya
rasa takut, rusaknya lingkungan dan pranata sosial, kerugian harta
benda, jatuhnya korban jiwa, timbulnya trauma psikologis (dendam,
benci, antipati), serta melebarnya jarak segresi antara para pihak yang
berkonflik sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan
umum.
Kelima, Penanganan Konflik dapat dilakukan  secara komprehensif,
integratif, efektif, efisien, akuntabel, dan transparan serta tepat sasaran
melalui pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan
hukum yang memadai.
Keenam, dalam mengatasi dan menangani berbagai Konflik
tersebut, Pemerintah Indonesia belum memiliki suatu format kebijakan
Penanganan Konflik komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel
dan transparan, serta tepat sasaran berdasarkan pendekatan dialogis
dan cara damai.
Argumentasi yuridis pembentukan Undang-Undang tentang
Penanganan Konflik Sosial  adalah mengenai permasalahan    peraturan
perundang-undangan terkait Penanganan Konflik yang masih bersifat
sektoral dan reaktif, dan tidak sesuai dengan perkembangan sistem
ketatanegaraan.
Beberapa undang-undang yang erat kaitannya, bahkan menjadi
dasar dan acuan bagi Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial adalah
sebagai berikut:

1. Undang . . .




- 4 -
1. Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan
Bahaya, sebagaimana telah diubah dua kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 52 Prp Tahun 1960;
2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan
Demobilisasi;
3. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih;
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara;
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1            
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
menjadi Undang-Undang;
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
10. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia;
11. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana;
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial.
Pembentukan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial
dilakukan melalui analisis sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Penanganan Konflik Sosial.
  Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial menentukan
tujuan penanganan Konflik yaitu menciptakan kehidupan masyarakat yang
aman, tenteram, damai, dan sejahtera; memelihara kondisi damai dan
harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan; meningkatkan tenggang
rasa dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan; melindungi jiwa, harta
benda, serta sarana dan prasarana umum; memberikan pelindungan dan
pemenuhan hak korban; serta memulihkan kondisi fisik dan mental
masyarakat.  

Undang . . .




- 5 -
 Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial mengatur mengenai
Penanganan Konflik Sosial yang dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu
Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik, dan Pemulihan Pascakonflik.
Pencegahan Konflik dilakukan antara lain melalui upaya memelihara kondisi
damai dalam masyarakat; mengembangkan penyelesaian perselisihan secara
damai; meredam potensi Konflik; dan membangun sistem peringatan dini.
Penanganan Konflik pada saat terjadi Konflik dilakukan melalui upaya
penghentian kekerasan fisik; penetapan Status Keadaan Konflik; tindakan
darurat penyelamatan dan pelindungan korban; dan/atau pengerahan dan
penggunaan kekuatan TNI. Status Keadaan Konflik berada pada keadaan
tertib sipil sampai dengan darurat sipil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959. Selanjutnya, Penanganan
Konflik pada pascakonflik, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban
melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secara terencana, terpadu,
berkelanjutan, dan terukur melalui upaya rekonsiliasi; rehabilitasi; dan
rekonstruksi. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai peran serta
masyarakat dan pendanaan Penanganan Konflik.

II.  PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan“ adalah bahwa
penanganan Konflik harus mencerminkan pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas hak asasi manusia” adalah
Penanganan Konflik  harus menghormati dan menjunjung
tinggi hak-hak yang secara kodrati melekat pada manusia dan
tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan oleh setiap orang, negara, hukum,
dan Pemerintah, demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, serta keadilan.

Huruf c . . .





- 6 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan“ adalah bahwa
Penanganan Konflik  harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap memelihara
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan“ adalah bahwa
Penanganan Konflik  harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kebhinneka-tunggal-ikaan“
adalah bahwa Penanganan Konflik  harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan serta
kondisi khusus daerah dan budayanya, khususnya yang
menyangkut masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa
Penanganan Konflik  harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara, tanpa terkecuali.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kesetaraan gender” adalah
bahwa kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan haknya sebagai manusia agar
mampu berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum,
ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan sehingga memperoleh
manfaat dan mampu berpartisipasi secara setara dan adil
dalam pembangunan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian
hukum“ adalah bahwa Penanganan Konflik  harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
adanya kepastian hukum.

Huruf i . . .





- 7 -
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan“ adalah bahwa
Penanganan Konflik  harus dilakukan secara terus-menerus
dan berkesinambungan untuk menciptakan suasana tenteram
dan damai.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal“ adalah bahwa
Penanganan Konflik  harus memperhatikan nilai-nilai yang
hidup dan dihormati di dalam masyarakat.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara“ adalah
bahwa Penanganan Konflik  merupakan tanggung jawab
seluruh komponen negara, baik Pemerintah maupun
masyarakat.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “asas partisipatif“ adalah bahwa
Penanganan Konflik melibatkan masyarakat dalam
keseluruhan prosesnya, dari perencanaan, pembiayaan,
hingga pengawasan.
 Huruf m
 Yang dimaksud dengan “asas tidak memihak” adalah bahwa
Penanganan Konflik  berpegang teguh pada norma dengan
tidak berpihak pada pihak manapun.
Huruf n
Yang dimaksud dengan “asas tidak membeda-bedakan”
adalah bahwa dalam Penanganan Konflik  harus memberikan
perlakuan yang sama dengan tidak membedakan
antarkelompok masyarakat.  
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5 . . .


Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.


- 8 -
Pasal 7
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini difasilitasi  oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui penguatan capacity
building, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan budi pekerti,
pendidikan agama, dan menanamkan nilai-nilai integrasi bangsa.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bahwa hasil penyelesaian perselisihan secara damai harus
dihormati, ditaati, dan dilaksanakan oleh seluruh pihak yang
berkonflik.
Pasal 9
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan memperhatikan aspirasi masyarakat” adalah
bahwa suatu proses perancangan pembangunan beserta
pelaksanaannya menampung harapan dan keinginan
masyarakat.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kegiatan ini dilaksanakan melalui pendidikan membangun
perdamaian (peace building), memelihara dan melestarikan
perdamaian (peace keeping), menciptakan perdamaian (peace
making), toleransi, multikulturalisme, inklusivisme, dan
pendidikan kewarganegaraan.

Huruf d . . .


Huruf d
Cukup jelas.


- 9 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan “menegakkan hukum tanpa
diskriminasi“ adalah upaya untuk menegakkan atau
memfungsikan norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara tanpa membedakan perlakuan
terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit,
golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Pelaku usaha yang dimaksud  adalah pelaku usaha dalam
bidang perkebunan, perikanan, pertanian, pertambangan, dan
kehutanan.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “media komunikasi” mencakup media
komunikasi tradisional serta media massa cetak dan
elektronik.
Pasal 11
Cukup jelas.



Pasal 12 . . .


Pasal 12
Huruf a


- 10 -
Yang dimaksud dengan “kekerasan” adalah tindakan yang
dapat melukai fisik seseorang baik yang dilakukan dengan
menggunakan senjata maupun yang dilakukan dengan tidak
menggunakan senjata yang mengakibatkan jatuhnya korban
jiwa atau kerugian/hilangnya harta benda.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “tidak dapat dikendalikan oleh Polri” adalah
kondisi dimana eskalasi Konflik makin meningkat dan resiko makin
meluas karena terbatasnya jumlah personil dan peralatan kepolisian
setempat.
Yang dimaksud dengan “terganggunya fungsi pemerintahan” adalah
terganggunya kegiatan administrasi pemerintahan dan fungsi
pelayanan Pemerintahan kepada masyarakat.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18 . . .


Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
      Cukup jelas.  
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.


- 11 -

Pasal 30 . . .


Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)


- 12 -
Materi muatan Peraturan Pemerintah termasuk pengaturan
teknis mengenai kendali operasional di lapangan.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
  Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”restitusi” adalah pembayaran
ganti rugi atas kerusakan harta benda dan/atau
penderitaan yang dialami oleh korban dan/atau
keluarganya.
 Huruf c
  Cukup jelas.

Ayat (2) . . .


Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.


- 13 -
Huruf b
Pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan,
dan ketertiban merupakan serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan kondisi masyarakat yang terkena dampak
Konflik agar kembali pada kondisi aman, tenteram, damai,
dan sejahtera.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penguatan relasi sosial yang adil untuk kesejahteraan
masyarakat merupakan serangkaian upaya pembauran
masyarakat untuk meniadakan sifat eksklusif
antarkelompok dalam masyarakat guna mempererat
kembali hubungan antarkelompok masyarakat
Pascakonflik untuk mencapai kesatuan dan
kesejahteraan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pemenuhan kebutuhan dasar”
adalah bantuan makanan, minuman, pakaian, kesehatan,
termasuk sarana pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
tempat tinggal.
Yang dimaksud dengan “kebutuhan spesifik perempuan”
adalah kebutuhan yang diperlukan oleh kaum perempuan
yang terkait dengan kodratnya sebagai perempuan dalam
kehidupan sehari-hari.

Huruf h . . .


Huruf h
  Cukup jelas.
Huruf i
  Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.



- 14 -

Ayat (2) . . .


Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d


- 15 -
Yang dimaksud dengan “pegiat perdamaian” adalah setiap
orang yang aktivitasnya memberikan perhatian pada
urusan yang mendorong terwujudnya perdamaian.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
    Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53 . . .



Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
 Cukup jelas.


- 16 -
 Pasal 62
             Cukup jelas.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR  5315